Seri Kesusastraan

Elemen Realisme pada Anime Shirobako

Shirobako seringkali menjadi salah satu referensi untuk memahami proses produksi dan industri anime di Jepang. Shirobako adalah film yang menarik untuk mendiskusikan isu realisme dalam film anime yang belum banyak dibicarakan. Realisme dalam Shirobako dapat dilihat dari dua layer. Pertama, anime Shirobako secara umum menggambarkan dinamika produksi dan industri anime di Jepang. Kedua, Shirobako menceritakan proses produksi anime dengan menggunakan elemen-elemen realisme.

Pada layer pertama, realisme dalam film animasi dapat dilihat dari berbagai elemen, antara lain narasi, setting, disain karakter, dan warna yang digunakan. Shirobako adalah serial anime yang menggambarkan proses produksi dan industri anime di Jepang. Shirobako diproduksi oleh P.A Works dan dirilis tahun 2014. Serial yang tediri dari 24 episode ini fokus pada lima karakter utama yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dan bermimpi terjun di industri anime. Serial Shirobako menggambarkan proses produksi serial anime berjudul Exodus! yang merupakan karya original Studio Musashino dan The Third Girl’s Aerial Squad yang diadaptasi dari mangaShirobako menggambarkan produksi film anime merupakan proses yang kompleks, melibatkan banyak pekerja kreatif yang memiliki keterampilan yang berbeda-beda, dan melibatkan berbagai perusahaan yang berbeda. Proses produksi anime The Third Girl’s Aerial Squad digambarkan lebih kompleks dengan keterlibatan komite produksi yang terdiri dari studio anime, perusahaan musik, mainan, penerbit, dan event organizer. Hal ini digambarkan dalam adegan pemilihan pengisi suara atau seiyu dengan berbagai pertimbangan yang berbeda-beda, dan disain karakter yang harus disetujui oleh penulis manga atau mangaka. Komite produksi berperan penting dalam perkembangan industri anime dengan keterlibatannya dalam proses perencanaan, produksi dan distribusi anime termasuk dalam penyertaan modal. Keberaadan komite produksi merupakan salah satu strategi yang dilakukan untuk mengatasi tingginya biaya produksi anime dan mengurangi risiko bisnis.

undefined

 

Setting Shirobako berada di Kota Musashino yang berada di sebelah barat Tokyo. Daerah ini dekat dengan lokasi studio animasi di Jepang antara lain, C. Staff, Artland, Studio Ponoc, Production IG, Bee Train, dan Tatsunoko Production. Studio anime di Jepang terpusat di beberapa wilayah di Tokyo antara lain di Suginami, Nerima, Nishitokyo, Musashino, Nakano dan Shinjuku. Pada awalnya, Toei Doga  atau Toei Animation dan Mushi Production mendirikan studio di Nerima dan kemudian diikuti oleh berdirinya studio lainnya di daerah sekitar jalur kereta api Seibu Ikebukuro. Pada awalnya pusat-pusat studio anime merupakan pusat dari studio manga dan film dimana para kreator bisa dengan mudah bekerja di kedua sektor tersebut. Selain itu, terpusatnya studio anime di beberapa lokasi dikarenakan kemudahan untuk menggunakan fasilitas yang tersedia (Yamamoto, 2014)

Pada layer kedua, realisme digambarkan ke dalam proses pembuatan film anime The Arial Squad dan The Third Girl’s Aerial Squad yang menggunakan elemen-elemen realisme antara lain visual, bahasa dan pengalaman tubuh. Realisme visual menjadi bagian yang penting dalam produksi anime. Gambar yang dibuat harus mempunyai kemiripan visual dan kesesuaian gerak dengan bentuk aslinya. Realisme visual dalam proses produksi digambarkan dalam adegan Ema Yasuhara (animator 2D) menggambarkan adegan kucing (episode 7 dan 8). Bagi Yasuhara menggambar kucing adalah pekerjaan yang sulit karena ia belum pernah melihat dan menyentuh kucing. Di sisi lain, ia harus cepat menyelesaikan gambar tersebut karena akan segera dicek oleh supervisor. Ia berulangkali gagal menggambar kucing dengan gerakan yang pas dan menyebabkannya frustasi. Animator veteran, Shigeru Sugie, mengatakan bahwa gaya berjalan kucing mempunyai pola sendiri dan animator muda harus menyeimbangkan antara penguasaan keterampilan teknik dan kecepatan dalam menggambar. Setelah bertemu dan menyentuh kucing di sebuah taman dekat studio, Yasuhara memahami bentuk kaki dan gerak kucing dan ia berhasil menggambar adegan kucing.

Realisme visual dalam produksi anime digambarkan pula pada adegan yang menceritakan pembuatan adegan sekawanan kuda yang berlari kencang (episode 12). Adegan ini memerlukan teknik gambar yang tinggi dan waktu yang lebih lama untuk menciptakan adegan yang dramatis. Adegan ini kemudian dibuat oleh Shigeru Sugie bersama dengan animator lainnya dengan menggunakan teknik 2D. Shigeru Sugie adalah animator yang memiliki spesialisasi  menggambar adegan hewan secara realis yang tidak dimiliki oleh animator lainnya. Upaya Shigeru Sugie untuk menggambar secara realis terlihat pula pada adegan ketika ia pergi ke kebun binatang untuk melakukan observasi dan memotret anak sapi sebagai bahan referensi untuk menggambar adegan anak sapi bersama karakter adik Aria (episode 24). Sebagai animator veteran ia mengajarkan teknik menggambar kepada para animator muda (episode 12). Ia mengatakan bahwa hal yang perlu diingat ketika menggambar manusia adalah peregangan dan penyusutan otot badan dan kaki; posisi kepala, dada dan pinggul pada setiap potongan gerakan; dan jika gerakannya berubah titik gravitasinya pun juga berubah. Realisme visual terlihat pula pada episode ke 19 dimana terdapat adegan yang menggambarkan Okura (senior background artist) pergi ke tempat bekas pabrik tua di Ashikawa. Baginya, tempat tempat ini cocok untuk menggambarkan kampong halaman karakter Aria.

Shirobako juga menggambarkan pentingnya realisme bahasa dalam proses produksi anime. Adegan pada episode 13 menggambarkan Kinoshita Seiichi (sutradara), Miyamori Aoi (manajer produksi), Shimeji Maitake (penulis skenario) dan Midori (peneliti latar) mengunjungi museum pesawat untuk melakukan penelitian sebelum menggambar adegan pertempuran di Chofu. Dalam adegan tersebut Maitake meminta Midori Imai untuk meneliti tentang kosa kata yang digunakan dalam pengoperasian pesawat terbang seperti black-outwhite-out, dan red-out serta kata-kata khas yang digunakan oleh pilot yang berasal dari berbagai negara.  

Animator seringkali beperan sebagai aktor untuk memahami karakter yang digambar. Beberapa adegan dalam Shirobako menggambarkan realisme embodiment atau pengalaman tubuh dalam proses produksi anime. Rinko Ogaswara (supervisor 2D) memakai baju bergaya Lolita untuk mendalami karakter yang ia gambar sehingga lebih mudah untuk menggambar karakter yang bergaya lolita (Episode 16). Ai Kunogi (2D junior artist) menggambar sambil mempraktekan menggosok gigi di depan cermin untuk membuat adegan karakter yang sedang menggosok gigi (Episode 17). Yasuhara Ema (2D artist) meminta kedua temanya untuk memakan buah asam berulang kali untuk mengetahui ekspresi wajahnya sebagai bahan referensi ia menggambar.  Adegan lainnya yang menggambarkan pentingnya realisme pengalaman tubuh dalam proses produksi anime dapat dilihat pada adegan ketika Misa Tadou (3D artist) bersama Ema Yasuhara (2D artist) dan Shizuka Sasaki (seiyu) naik roller-coaster (Episode 21).  Misa merekam reaksi Ema dan Shizuka ketika naik roller-coaster sebagai referensi untuk meggambar adegan karakter Aria naik pesawat.

Meskipun film animasi seringkali dilihat sebagai film fiksi dan tidak realistis, namun dalam proses produksi seringkali memasukkan unsur-unsur realisme. Berbagai upaya dilakukan untuk memasukkan realisme dalam proses produksi anime, salah satunya melalui proses riset. Shirobako menunjukkan bahwa proses produksi anime memerlukan sebuah riset yang detil, meskipun untuk adegan yang singkat. Riset dalam proses produksi anime bukanlah hal yang asing yang dilakukan oleh para kreator Jepang. Satoshi Kon, sutradara film anime Perfect Blue, memotret beberapa lokasi sebagai model untuk membuat setting film yang detil termasuk perempatan kota, taman, dan jembatan (Stey, 2009). Hasil wawancara yang pernah dilakukan oleh penulis dengan salah satu animator Indonesia di Jepang menunjukkan bahwa studio tempatnya bekerja berkolaborasi dengan salah satu laboratorium biologi di sebuah universitas untuk memahami struktur tubuh dan tulang manusia sebagai referensi untuk membuat gerakan manusia lebih realistis. Riset yang mendalam baik untuk keperluan penulisan narasi, disain karakter, setting, penggunaan warna dan cahaya menjadi bagian penting dalam proses produksi animasi. Hal ini yang seringkali tidak dilakukan secara mendalam oleh para kreator animasi di Indonesia. Kolaborasi antara para kreator atau pekerja kreatif dengan pihak lain menjadi salah satu alternatif untuk melakukan riset dan memasukan elemen realisme dalam produksi film animasi. (Upik Sarjiati)

Referensi

Stey, George A. 2009. “Elements of Realism in Japanese Animation”. Thesis. Ohio: The Ohio State University

Yamamato, Kenta. 2014. The Angglomeration of Animation Industry in East Asia. Tokyo: Springer.